Preman & Hantu

Preman ada yang beking? Katanya sih; kalo gak karena mabuk miras, keberanian mereka berkobar karena dibekingin.

PrikitNews; 21 Juni 2008. – Sini preman, sana preman / sedang beraksi / Wajah dingin dan seram / siap menerkam / Jangan kau coba, kawan / cari perkara / Sejurus berarti petaka / aaaaa….oww! // Di zaman resesi dunia / pekerjaan sangat sukar / juga pendidikan / Di sudut-sudut jalanan / banyak pengangguran / Jadi preman ‘tuk cari makan

Cuplikan lagu di atas sempat ngetop di era 80-an sebagai salah satu hits rocker Ikang Fauzi. Syair lagu itu sangat tepat menggambarkan kesejatian ulah oknum yang bangga disebut preman. Mereka ini akan selalu terlihat bergerombol di ujung-ujung gang, sudut-sudut pasar, sekitar lahan perparkiran, bahkan di dunia kehidupan malam.

Kehadiran para preman yang selalu petantang-petenteng ini tentu saja sangat dibenci masyarakat. Ulah mereka yang selalu menekan mangsanya kerap menimbulkan anarkis dan penganiayaan. Mereka seakan tidak takut hukum. Mereka seakan memiliki dua nyawa. Sangat tidak sukai para pedagang di pasar, pemilik pertokoan dan beberapa perusahaan yang selalu dipalaknya. Hebatnya lagi, mereka ini ada yang mengkoordinasi diri dengan wadah ke-ormas-an. Seakan bernaung menjadi underbow dari salah satu partai.

Bagi saya, seorang preman tidaklah menjadi kebanggaan. Justru kasihan! Orang seperti ini adalah orang yang kehilangan arah hidup. Gak punya kerjaan, lantas kongkow-kongkow dengan teman lainnya, dan akhirnya merencanakan tindak kejahatan. Toh, mereka pengin juga eksis dalam hidup ini. Hanya saja jalannya tidak normal.

Yang bikin saya prihatin, ada orang yang begitu bangganya disebut preman. Jagoan! Bisa palak sana palak sini. Para preman ini tidak tahu malu, bahwa mereka tidak lebih dari sosok pengemis yang cuma mengandalkan kegarangan. Mereka tidak menyadari kalau suatu waktu akan kena batunya. Mungkin pikiran mereka; ke-premanannya itu bisa dilakoni sampai tua.

Apa hubungan preman dan hantu? Ya, sama-sama jelangkung. Muncul dan pergi tidak diketahui. Kalo lagi gak punya duit, macam-macamlah ulahnya memeras. Setelah punya duit, maboklah mereka dengan miras sambil berkoar-koar gak jelas gitu.

Sekitar awal 90-an, saya terpaksa pulang ke Medan atas perintah orang tua. Medan memang sudah terkenal dengan kegarangan manusianya. Awalnya, saya pikir Medan telah berubah setelah puluhan tahun saya tidak bersapa. Namun, betapa kagetnya saya melihat bahwa premanisme di Medan justru kian marak. Pake bawa-bawa nama ormas segala. Mereka sangat brutal berperang untuk mempertahankan wilayah “kejahatan”nya.

Persis di sebelah rumah kami ada pasar tradisional kecil. Tidak terlalu ramai karena pembeli yang diharapkan cuma penghuni perumahan Simalingkar. Tapi, untuk keperluan dapur pasar ini memang sangat membantu. Sayangnya tidak dikelola dengan baik sehingga bertahan hanya 2 tahunan. Terbengkalailah los-los/kios-kios pasar itu jadi tempat bersarang hantu dan preman. Hampir saban malam kami mendengar teriakan-teriakan orang mabuk dari sebelah rumah. Sangat menjengkelkan. Kami tahu, mereka itu adalah orang yang begitu bangga disebut preman.

Saya sangat kesal melihat segala tingkah mereka. Beraninya kalau sedang ngumpul. Kalau sudah jalan sendiri-sendiri tak beranilah dia tegakkan kepala. Hancurnya lagi, mereka itu hanya berani di sekitar pasar dan Simalingkar. Kalau sudah ke arah Padang Bulan atau pasar Pringgan, dapat dipastikan tubuh mereka akan meringkuk berjalan kayak anjing yang sedang lewat di wilayah anjing lainnya. Anjing kan kalau berada di tempat bukan daerahnya, ekornya pasti melemas ke bawah dengan tubuh setengah maringkuk dan berjalan menepi-nepi. Syukur aja di era reformasi yang kebablasan ini daerah Simalingkar sudah lumayan aman. Bila pulang ke sana, para preman yang saya kenali dulu sudah tidak nampak batang hidungnya.

Kasta di dunia premanis jelas ada. Preman sekelas ikan teri, jagonya hanya sekitar wilayah kampungnya. Yang bekingi kelas teri ini biasanya orang yang dianggap jagoan dan pernah masuk penjara untuk beberapa saat. Berani menikamkan pisaunya.

Preman sekelas ikan tongkol, mulai merambah penguasaan pasar dan lahan perparkiran. Selentingan umum, kelas ikan tongkol ini dibekingi oleh aparat yang menerima setoran. Tingkah preman ini sedikit lebih santun, bermuka dua kepada orang di sekitarnya.

Preman sekelas kakap, biasanya bermain di ranah perjudian. Menguasai setoran dari bisnis hiburan malam. Juga selentingan umum yang beredar, mereka yang kerap disebut bos [mafia] ini sampai bisa mengatur kedudukan aparat yang akan bertugas di daerah itu.

Preman sekelas ikan paus; ada gak, ya? Yah, boleh jadi yang bermain dengan para koruptor. Biasanya mereka ini duduk sebagai pejabat, atau anggota parlemen. Cara mainnya pun tidak terkesan norak dan kumuh seperti kelas teri dan tongkol. Mereka rapi memakai jas dan dasi. Manusia ini jauh lebih munafik lagi karena menyalah-gunakan kepercayaan rakyat yang dibebankan kepadanya.

Dengan semua tingkah mereka yang bangga sebagai preman ini, sudah dipastikan sangat dibenci masyarakat. Mau marah? Gimana mau melawan, mereka berani cuma main keroyok. Sangat pengecut. Mau diadukan ke polisi, tarsok-tarsok [sebentar atau besok] sudah dilepas lagi. Ya, jelas aja mereka tidak menggubris hukum.

Kalau ditanya; ingin bertemu hantu atau preman? Saya pasti memilih hantu! Kekonyolan para preman ini sudah sangat menyebalkan. Kita membangun rumah dipalak. Eh, jangankan membangun rumah. Bangun pagar rumah aja dimintai upeti. Itu ciri khas preman Medan kelas teri dan tongkol. Coba, apa hubungannya mereka meminta upeti? Yang bikin per-undang-udang-an di negera ini emangnya preman? Tapi, inilah cerminan bagaimana buruknya penerapan hukum di negeri ini. Sepertinya, siapa saja pun bisa berlaku se-enak jidatnya. Gimana saya gak prihatin melihatnya? ***


Tinggalkan komentar